Kesenian Tradisional



1. Wayang

Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti "bayangan".
Jika ditinjau dari arti filsafatnya "wayang" dapat diartikan sebagai bayangan atau merupakan pencerminan dari sifat-sifat yang ada dalam jiwa manusia, seperti angkara murka, kebajikan, serakah dan lain-lain.
Sebagai alat untuk memperagakan suatu ceritera wayang.
Dimainkan oleh seorang dalang yang dibantu oleh beberapa orang penabuh gamelan dan satu atau dua orang waranggana sebagai vokalisnya.
Di samping itu, seorang dalang kadang kadang juga mempunyai seorang pembantu khusus untuk dirinya, yang bertugas untuk mengatur wayang sebelum permainan dimulai dan mempersiapkan jenis tokoh wayang yang akan dibutuhkan oleh dalang dalam menyajikan ceritera.
Fungsi dalang di sini adalah mengatur jalannya pertunjukan secara keseluruhan.
Dialah yang memimpin semua crewnya untuk luluh dalam alur ceritera yang disajikan.
Bahkan sampai pada adegan yang kecil-kecilpun harus ada kekompakan di antara semua crew kesenian tersebut.
Dengan demikian, di samping dituntut untuk bisa menghayati masing-masing karakter dari tokoh-tokoh yang ada dalam pewayangan, seorang dalang juga harus mengerti tentang gending (lagu).
Desain lantai yang dipergunakan dalam permainan wayang berupa garis lurus, dan dalam memainkan wayang, seorang dalang dibatasi oleh alas yang dipakai untuk menancapkan wayang.
Dalam pertunjukan wayang dikenal set kanan dan set kiri.
Set kanan merupakan kumpulan tokoh tokoh atau satria-satria pembela kebenaran dan kebajikan, sedangkan set kiri adalah tempat tokoh-tokoh angkara murka.
Walaupun demikian ketentuan ini tidak mutlak.
Untuk memperagakan berbagai setting/dekorasi dan pergantian adegan biasanya dipakai simbol berupa gunungan.
Pertunjukan wayang bisa dilakukan pada siang maupun malam hari, atau sehari semalam.
Lama pertunjukan untuk satu lakon adalah sekitar 7 sampai 8 jam.
Instrumen musik yang digunakan dalam mengiringi pertunjukan wayang secara lengkap adalah gamelan Jawa pelog dan slendro, tetapi bila tidak lengkap yang biasa digunakan adalah dan jenis slendro saja.
Vokalis putri dalam iringan musik yang disebut waranggono bisa satu orang atau lebih.
Di samping itu, masih ada vokalis pria yang disebut penggerong atau wirasuara, yang jumlahnya 4 sampai 6 orang dan bertugas mengiringi waranggana dengan suara "koor".
Vokalis pria ini bisa disediakan khusus atau dirangkap oleh penabuh gamelan, sehingga penabuh gamelan adalah juga penggerong.
Dalam menentukan lakon yang akan disajikan seorang dalang tidak bisa begitu saja memilih sesuai dengan kehendaknya.
Ia dibatasi oleh beberapa faktor.
Diantaranya adalah:
(1) jenis wayang yang dipergunakan sebagai alat peragaan;
(2) kepercayaan masyarakat sekitarnya;
(3) keperluan diadakannya pertunjukan tersebut.
Jenis wayang akan mempengaruhi lakon yang bisa disajikan lewat wayang-wayang tersebut.
Seperangkat wayang kulit misalnya hanya dapat dipakai untuk memainkan ceritera-ceritera dari Mahabarata atau Ramayana.
Wayang kulit tidak bisa di pakai untuk menampilkan babad Menak.
Sebaliknya perangkat wayang golek tidak dapat digunakan untuk melakonkan Mahabarata, ini dikarenakan tokoh tokoh yang ada dalam wayang-wayang tersebut memang sudah dibuat untuk pementasan lakon-lakon (ceritera-ceritera) tertentu.
Dalam suatu masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, yang masih patuh pada tradisi dan adat istiadat peninggalan para leluhurnya, banyak kita jumpai pantangan-pantangan atas suatu lakon tertentu untuk pertunjukan wayang.
Sebagian masyarakat misalnya beranggapan bahwa lakon Bharatayuda tabu untuk dipentaskan dalam upacara perayaan perkawinan.
Apabila pantangan ini dilanggar, orang yakin bahwa keluarga tersebut akan mengalami kesusahan.
Entah akan ada anggota keluarga yang meninggal, akan terjadi perceraian dalam keluarga tersebut, atau malapetaka lainnya.
Di daerah-daerah pedesaan juga masih banyak kita jumpai upacara-upacara adat yang diselenggarakan dengan pertunjukan wayang.
Untuk suatu upacara tertentu, lakon wayang yang dipentaskan juga tertentu.
Pada upacara bersih desa, yaitu selamatan sesudah panen, lakon yang harus dipertunjukkan adalah "Kondure Dewi Sri" (Pulangnya Dewi Sri), sedangkan untuk upacara ngruwat lakonnya adalah Batara Kala.
Selain batasan-batasan ini lakon wayang sering kali juga ditentukan oleh permintaan penanggap2 atau atas kesepakatan antara pihak dalang dan penanggap wayang.
Mengenai asal mula timbulnya wayang di Indonesia pendapat dari beberapa ahli dapat digunakan sebagai pedoman untuk memaparkan hal ini.
Salah satu pendapat yang didukung oleh data yang kuat disampaikan oleh Sri Mulyono. Mengenai timbulnya pertunjukan wayang ini Mulyono berpendapat bahwa pertunjukan wayang kulit dalam bentuknya yang asli, yaitu dengan segala sarana pentas / peralatannya yang serba sederhana, yang pada garis besarnya sama dengan yang sekarang kita lihat, yaitu dengan menggunakan wayang dari kulit diukir (ditatah), kelir, blencong, kepyak, kotak dan lain sebagainya, sudah dapat dipastikan berasal dan merupakan hasil karya orang Indonesia asli di Jawa, sedangkan timbulnya jauh sebelum kebudayaan Hindu datang.
Pertunjukan wayang kulit ini pada dasarnya merupakan upacara keagamaan atau upacara yang berhubungan dengan kepercayaan untuk menuju "Hyang", dilakukan di malam hari oleh seorang medium (syaman) atau dikerjakan sendiri oleh kepala keluarga dengan mengambil ceritera-ceritera dari leluhur atau nenek moyangnya.
Upacara ini dimaksudkan untuk memanggil dan berhubungan dengan roh nenek moyang guna memohon pertolongan dan restunya apabila keluarga itu akan memulai atau telah selesai menunaikan suatu tugas.
Upacara semacam ini diperkirakan timbul pada jaman Neohithik Indonesia atau pada ± tahun 1500 SM.
Dalam perkembangannya kemudian upacara ini dikerjakan oleh seorang yang memiliki keahlian, atau menjadikannya suatu pekerjaan tetap, yang disebut dalang.
Dalam kurun waktu yang cukup lama pertunjukan wayang kemudian terus berkembang setahap demi setahap namun tetap mempertahankan fungsi intinya, yaitu sebagai suatu kegiatan yang berhubungan dengan sistim kepercayaan dan pendidikan.
Berkenaan dengan perkembangan kesenian wayang ini sebagai ibu kota kerajaan Mataram Baru, Yogyakarta telah memberikan tempat hidup yang subur bagi kesenian wayang, sebagaimana tercermin dan didirikannya sekolah dalang Habiranda pada tahun 1925 di kota ini.
Kini para dalang lulusan sekolah Habiranda banyak tersebar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mengenai jenis wayang yang dikenal oleh masyarakat Jawa, ternyata ada beberapa jenis yaitu: Wayang Kulit/ Purwa; Wayang Klithik; Wayang Golek dan Wayang Orang.



2. Slawatan 


Slawatan adalah salah satu bentuk teater tradisional yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Slawatan ini merupakan kesenian rakyat yang bernafaskan agama Islam, dan menggunakan alat musik rebana (terbang, Jawa) dan sejenisnya. Kesenian ini dinamakan Slawatan karena dalam pertunjukan para pemainnya mengucapkan/menyanyikan shalawat (pujian untuk nabi) atau paling tidak menampilkan unsur shalawat dalam pertunjukannya. Syair shalawat ini ditulis dalam sebuah buku yang disebut Kitab Barzanji, yang berisi puji-pujian atas kebesaran Nabi Muhammmad S.A.W. dan ikut bergembira atas kelahirannya di dunia.
Jenis slawatan ini muncul ketika agama Islam mulai menyebar secara mendalam di kalangan masyarakat Jawa pada sekitar abad ke XVI. Kesenian Slawatan ini berfungsi sebagai alat penyiaran agama Islam, di samping sebagai tontonan/ hiburan yang menarik.
Adapun yang termasuk kesenian slawatan adalah:
(1) Slawatan Maulud;
(2) Slawatan Laras Madya;
(3) Barzanji;
(4) Rodad/Slawatan Rodad;
(5) Emprak;
(6) Angguk;
(7) Trengganan/kuntulan;
(8) Peksi Moi;
(9) nDolalak;
(10) Badui;
(11) Kobrasiswa;
(12) Samroh/ Qosidahan.
Slawatan Maulud. Slawatan Maulud inilah yang dikenal masyarakat umum sebagai kesenian Slawatan.
Sejak dahulu sampai sekarang Slawatan Maulud ini tetap hidup seperti keadaan aslinya.
Fungsinya adalah sebagai alat dakwah agama Islam.
Kesenian ini sebenarya bukan seni pertunjukan, artinya dia tidak ditonton oleh umum.
Kalau toh ada penonton di situ, kedudukan mereka lebih sebagai pendengar.
Pementasan Slawatan Maulud ini bisa dijalankan minimal oleh enam orang dan maksimal oleh 40 orang, walaupun demikian biasanya dijalankan oleh sekitar 15 - 20 orang.
Para pemain Slawatan menggunakan kostum realis yaitu pakaian yang dipakai sehari-hari dan tidak memakai rias muka.
Biasanya permainan ini diadakan di masjid atau langgar tetapi sering juga di rumah penduduk.
Vokal disampaikan dalam bentuk nyanyian berbahasa Arab.
Pertunjukan ini tidak memakai naskah tetapi menggunakan pedoman kitab Barzanji.
Ada juga teks yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa sehingga nyanyiannya berbahasa Jawa. Jenis ini disebut Slawatan Maulud Jawi.
Penyelenggaraannya pada waktu malam hari selama kurang lebih 8 jam, dimulai dari jam 20.00 hingga jam 04.00.
Alat penerangan yang digunakan disini adalah petrornak untuk waktu sekarang, dan lampu keceran atau lampu gantung di masa yang lalu.
Instrumen musik yang dipakai antara lain adalah rebana yang terdiri atas beberapa buah menurut ukuran dan nada, kendang (dodog dan beb), kempul, kenting, ketuk dan gong.
Pemain kesenian Slawatan ini semuanya laki-laki.

leave a comment