MAKANAN KHAS JOGYAKARTA  "GUDEG"
Makanan Khas Kota JogjaSalah satu masakan khas dari jogja adalah gudeg, bahkan kota Jogjakarta kemudian dijuluki dengan kota Gudeg, masakan sederhana yang menjadi terkenal karena kesederhanaannya, demikian pula orang Jogja yang sederhana dan bersahaja.
Dilansir dari wikipedia, Gudeg (bahasa Jawa gudheg) adalah makanan khas Yogyakarta dan Jawa Tengah yang terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan dan dibumbui dengan kluwek. Warna coklat biasanya dihasilkan oleh daun jati yang dimasak bersamaan. Gudeg dimakan dengan nasi dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam kampung, telur, tahu dan sambal goreng krecek.
Ada berbagai varian gudeg, antara lain:
* Gudeg Kering, yaitu gudeg yang disajikan dengan areh kental, jauh lebih kental daripada santan pada masakan padang.
* Gudeg Basah, yaitu gudeg yang disajikan dengan areh encer.
* Gudeg Solo, yaitu gudeg yang arehnya berwarna putih.
Untuk mempertahankan keawetannya, media penyimpan gudeg dipakai kendil. Bahan wadah/tempat yang terbuat dri tanah liat, sehingga Gudeg kendil juga bisa di nikmati sebagai oleh-oleh khas dari kota Jogjakarta.

 

Asal Usul Nama Makanan “GUDEG”


Temen-temen semua pasti udah pada tau apa itu GUDEG…
Gudeg adalah makanan khas Jogja, Indonesia yang cukup terkenal yang terbuat dari nangka muda atau dari bunga kelapa..
Tapi kalian tau ga,kenapa makanan itu dinamakan GUDEG ?
Dulu, di Jogja pada jaman penjajahan Inggris tinggalah seorang warga negara Inggris yang tinggal di Indonesia dan memiliki istri seorang perempuan jawa.
Warga negara Inggris tersebut memanggil istrinya dengan sebutan “dek” karena memang panggilan “dek” sudah menjadi tradisi di jawa biasanya untuk memanggil istri yang notabene sebagai ibu rumah tangga.
Pada suatu hari ketika sang suami sedang pergi bekerja sang istri bingung ingin memasak apa akhirnya dia teringat resep turun temurun keluarganya yang menggunakan bahan dari nangka muda tersebut..
Akhirnya mulailah dia memasak, karena mungkin sudah sangat lapar sesampainya dirumah sang suami langsung menuju ke meja makan dan makan dengan lahapnya masakan yang dimasakkan istrinya tadi selesai makan sang suami berkata agak keras “good dek..” “it’s good dek” dengan ekspresi senang.
Sang istri terkejut dan mulai menceritakan ke tetangga dan teman-temannya kalau sang suami senang sekali dimasakkan resep turun temurun itu dan setiap kali selesai makan-makanan itu dia selalu bilang “good dek” dan dari situlah makanan itu mulai disebut GUDEG sebagai metomorfosis dari kata “good dek”
Nah sekarang udah pada tau kan asal nama GUDEG.. 

Sentra Makanan Khas Gudeg - Wijilan

Wijilan
Gudeg merupakan makanan khas kota Jogja yang terbuat dari nangka muda atau disebut gori oleh masyarakat sekitar. Rasa masakan ini manis namun ada sedikit rasa gurihnya karena tambahan bumbu arehnya (santan kental). Dalam penyajiannya, gudeg biasanya ditemani beberapa lauk: telur, ayam kampung, tempe bacem, tahu bacem dan juga sambal krecek.

Di Jogja, daerah yang dikenal sebagai
Sentra Makanan Khas Gudeg adalah Wijilan. Di daerah ini banyak berjajar warung-warung yang menjual gudeg. Kampung Wijilan terletak di sebelah Selatan Plengkung Tarunasura atau yang lebih dikenal dengan sebutan Plengkung Wijilan dan di sebelah Timur dari Alun Alun Utara.

Dahulu pada awalnya hanya ada 1 warung gudeg yang ada di kampung ini. Ialah
Ibu Slamet yang membuka usahanya di tahun 1946. Beberapa tahun kemudian jumlah warung bertambah 2, yaitu Warung Gudeg Campur Sari dan Warung Gudeg Ibu Djuwariah yang dikenal dengan sebutan Gudeg Yu Djum. Sayangnya pada tahun 1980-an Warung Campur Sari tutup. Pada tahun 1990-an muncul Warung Gudeg Bu Lies. Sekarang ini, sudah semakin banyak warung gudeg yang bermunculan di daerah Wijilan ini.

Selain menikmati gudeg ditempat ini, anda bisa memesan untuk dibawa pulang atau  menjadikan gudeg sebagai
oleh-oleh khususnya gudeg kering karena daya tahannya cukup lama yaitu sekitar 3 hari. Untuk kemasannya, anda bisa meminta untuk sekadar dikemas dengan besek (kotak dari anyaman bambu) atau diletakkan di dalam kendhil (semacam guci dari tanah liat yang dibakar).

Tips:
Beberapa penjual disini dengan senang hati akan menunjukkan pada anda cara membuat gudegnya. Bahkan ada juga paket wisata tentang pembuatan gudeg.
.

PARIKAN

Parikan yaiku unen-unen cacahe rong gatra (larik). Larik sepisan minangka parikane, larik kapindho dadi isine. Lan, guru lagune parikan iku padha. 

ning bumi panas hawane
bu darmi ayu pasuryane

            mas jaka lara untu
            bahasa jawa bahasaku

mlaku-mlaku tuku beras
ayu-ayu ora waras

            ono kethek kecebur kalen
            ketimbang golek mendingan balen

ning kudus suwe tekane
wong bagus becik lakone

            ono kancil dioyak singo
            yen seneng lak ngomongo

wawan mangan kolang-kaling
kolang-kaling rasane pero
awan bengi terus eling
sing di eling ra rumangsa

            lola nonton wayang golek
            nontone karo bayu
            ora menopo rupaku elek
            sing penting uwes payu

dude menyang ndlanggu
nyang ndlanggu tuku bayem
suwe ora ketemu
ketemu pisan gawe ayem

            pit-pitan menyang sela
            baline nyang kedung ombo
            yen kwe pancen tresna
            ndang cepet lak nembungo

plesir ning surabaya
mulihe tuku kaca
yen pengen di percaya
aja seneng ngapusi kanca

            pak lurah tuku kayu
            tukune karo pak bayan
            kowe pancen ayu
            ananging kok geleman

gedhang goreng enak rasane
sing nggoreng ibune made
aja ndelok saka rupane
ndeloko saka atine

            awan-awan ngombe jamu
            sorene mangan rujak
            apa gunane sugeh ilmu
            yen lakone ora bijak

ana lemut ning nduwur gapura
yen aku luput nyuwun ngapura


sejarah batik

SEJARAH ASAL MUASAL BATIK


Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.
Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.
Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.
Jaman Majapahit Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.
Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.
Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.
Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya.
(produksi batik pada tahun 1912)
Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.
Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.
Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakarta, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.

Sejarah terbentuknya kota solo kota budaya


Kota Surakarta pada mulanya adalah wilayah Kerajaan Mataram. Kota ini bahkan pernah menjadi pusat pemerintahan Mataram. Karena propaganda kolonialisme Belanda, kemudian terjadi pemecahan pusat pemerintahan menjadi dua, yaitu pusat pemerintahan di Surakarta dan Yogyakarta. Selanjutnya, pusat pemerintahan di Surakarta dibagi lagi menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran.
Kasunanan Surakarta dipimpin oleh PB III ( Pakubuwono II ). Sedangkan Kasultanan Jogjakarta dipimpin oleh HB I ( Hamengkubuwono I ). Pembagian kerajaan tersebut tertulis dalam perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755, yang sekarang disimpan di Arsip Nasional RI.

Pada tahun 1742, orang-orang Tiong Hoa memberontak dan melawan kekuasaan PB II yang bertahta di Kartasura, sehingga Keraton Kartasura hancur, dan PB II menyingkir ke Ponorogo, Jawa Timur. Dengan bantuan VOC, pemberontakan tersebut berhasil ditumpas dan Kartasura dapat direbut kembali. Sebagai ganti Ibukota Kerajaan yang telah hancur, maka didirikanlah Keraton baru di Surakarta, 20 km ke arah selatan-timur dari Kartasura pada tahun 1745. Peristiwa ini, kemudian dianggap sebagai titik awal didirikannya kota Surakarta.

Kota Surakarta sendiri mempunyai beberapa nama lain. Bersamaan adanya pihak-pihak ( “ priyayi agung ” ) yang mengusulkan agar Kota Surakarta diganti menjadi “ Solo ” yang didasarkan pada stempel pos, nama kota Solo dianggap lebih mudah dikenal di Mancanegara daripada nama kota Surakarta.

Yang perlu diperhatikan dari nama lain kota Solo yaitu Kota Sala, dikarenakan daerah ini dahulu banyak ditumbuhi tanaman pohon “ Sala “, seperti yang tertulis dalam “ Serat Babad Sengkala “ yang disimpan di “ Sana Budaya Jogjakarta. “ Pemberian nama tersebut didasarkan pada “ Babon Yasan “ ( semacam upacara pertemuan pejabat kerajaan ), di rumah Sinuhun Sultan HB I, pada hari Senin tanggal 30 Rabiul Awal, tahun 1731.

Sala berasal dari bahasa Jawa asli yang merupakan nama pohon sebangsa pinus yang tumbuh di daerah Sala. Sebelum menjadi kota ataupun istana kerajaan. Berdasarkan keterangan diatas, maka kota Sala mempunyai nama lain, antara lain :

1. Solo

2. Nunggak Semi Kartasura

3. Surakarta

4. Nagari

5. Kota Gora Surakarta

Ada juga istilah :

1. Keraton Surakarta

2. Karisidenan Surakarta

3. Kota Praja Surakarta

4. Kota Madya Surakarta

5. Kota Gora Surakarta

6. Surakarta Hadiningrat

Ada juga yang menyebut Kota Sala dengan :

1. Kota Bengawan

2. Kota Budaya

3. Kota Pariwisata

4. Kota Yang Tak Pernah Tidur

5. Kota Berseri

6. Kota Walang Kekek

Bersamaan dengan pendahnya Keraton Surakarta ke desa Sala, lalu Kota Sala diberi nama Surakarta Hadiningrat. Jadi, Surakarta Hadiningrat dijadikan sebagai nama Ibukota Surakarta.

Yogyakarta “Kota Budaya”


Yogyakarta. . . .
Mendengar kata “Yogyakarta“, angan kita pasti segera melayang ke sebuah Daerah Istimewa yang mempunyai berbagai keunikan budaya, kuliner, wisata, dan kota tujuan untuk menimba ilmu. Tak salah jika Yogyakarta dijuluki kota budaya, kota gudeg, atau kota pelajar. Ciri khas yang paling utama dari kota Yogyakarta adalah adanya Keraton Yogyakarta Hadiningrat . Hampir setiap kejadian penting yang diselenggarakan oleh Keraton Yogyakarta dianggap sebagai ritual yang selalu diiringi dengan pertunjukan seni.
1323779736934237124
Keraton tak ubahnya sebagai pusat dari kebudayaan yang ada. Karena di dalam keraton terdapat benda-benda pusaka yang tidak hanya mempunyai nilai seni yang tinggi, tetapi juga mempunyai nilai sejarah terkait perjalanan Keraton ataupun Sultan.  Benda-benda pusaka yang ada di dalam keraton diantaranya berupa senjata dan peralatan perang, bendera, berbagai kitab kuno, perangkat alat musik, wayang, kareta, dan tari-tarian.
13237801731568161088
Di Keraton Yogyakarta sendiri juga memiliki beberapa perangkat alat musik gamelan. Namun hanya 3 saja yang dianggap paling sakral/keramat. Ketiganya adalah :
1. Kyahi Guntur Laut
Sering disebut gamelan Monggang. Merupakan gamelan warisan turun temurun dari kerajaan Majapahit. Gamelan ini dianggap gamelan yang paling sakral. Disimpan di Bangsal kori sebelah timur, kompleks sitihinggil. Kyahi Guntur Laut hanya dimainkan dalam upacara kenegaraan yang sangat penting semisal upacara pelantikan Sultan, pernikahan kerajaan, dan upacara pemakaman Sultan.
13237810201386048636
2. Kyahi Kebo Ganggang
Merupakan seperangkat gamelan kuno, yang konon juga berasal dari kerajaan Majapahit.  Merupakan gamelan ke 2 setelah Kyahi Guntur Laut.  Biasa disebut Kodhok Ngorek atau Mahesa Ganggang. Gamelan ini dipercayai memiliki melodi yang “aneh” seperti pada gendhing kodhok ngorek ayam sepenan. Gamelan yang terletak di Bangsal Kori sebelah barat kompleks sitihinggil ini dimainkan pada acara resmi kenegaraan seperti upacara sunatan, atau upacara ulang tahun Sultan, dan untuk mengiringi prosesi gunungan di masjid agung.
13237816661695649743
3. Gamelan Sekati
Terdiri dari 2 buah gamelan, yakni Kyahi Guntur Madu dan Kyahi Naga Wilaga. Keduanya biasanya dimainkan di dalam masjid agung selama perayaan sekaten pada grebeg Maulid.
Selain perangkat gamelan, keraton Yogyakarta juga memiliki tarian sakral diantaranya beksan bedhaya, dan beksan lawung ageng. Beksan bedhaya dianggap sangat sakral karena konon diciptakan langsung oleh  Sultan Agung (penguasa Mataram). Tarian ini dimainkan oleh 9 penari lelaki yang menyimbolkan 9 lubang pada manusia, dan juga 9 gerbang utama keraton, dan 9 struktur pada tubuh manusia.
Dengan berbagai ragam budaya yang ada, sudah sepantasnya jika Yogyakarta disebut juga Kota Budaya. Meskipun di era globalisasi, ternyata Yogyakarta tetap bisa mempertahankan “ciri khas” nya sebagai kota budaya yang selalu menarik minat wisatawan.

leave a comment