Sejarah terbentuknya kota solo kota budaya


Kota Surakarta pada mulanya adalah wilayah Kerajaan Mataram. Kota ini bahkan pernah menjadi pusat pemerintahan Mataram. Karena propaganda kolonialisme Belanda, kemudian terjadi pemecahan pusat pemerintahan menjadi dua, yaitu pusat pemerintahan di Surakarta dan Yogyakarta. Selanjutnya, pusat pemerintahan di Surakarta dibagi lagi menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran.
Kasunanan Surakarta dipimpin oleh PB III ( Pakubuwono II ). Sedangkan Kasultanan Jogjakarta dipimpin oleh HB I ( Hamengkubuwono I ). Pembagian kerajaan tersebut tertulis dalam perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755, yang sekarang disimpan di Arsip Nasional RI.

Pada tahun 1742, orang-orang Tiong Hoa memberontak dan melawan kekuasaan PB II yang bertahta di Kartasura, sehingga Keraton Kartasura hancur, dan PB II menyingkir ke Ponorogo, Jawa Timur. Dengan bantuan VOC, pemberontakan tersebut berhasil ditumpas dan Kartasura dapat direbut kembali. Sebagai ganti Ibukota Kerajaan yang telah hancur, maka didirikanlah Keraton baru di Surakarta, 20 km ke arah selatan-timur dari Kartasura pada tahun 1745. Peristiwa ini, kemudian dianggap sebagai titik awal didirikannya kota Surakarta.

Kota Surakarta sendiri mempunyai beberapa nama lain. Bersamaan adanya pihak-pihak ( “ priyayi agung ” ) yang mengusulkan agar Kota Surakarta diganti menjadi “ Solo ” yang didasarkan pada stempel pos, nama kota Solo dianggap lebih mudah dikenal di Mancanegara daripada nama kota Surakarta.

Yang perlu diperhatikan dari nama lain kota Solo yaitu Kota Sala, dikarenakan daerah ini dahulu banyak ditumbuhi tanaman pohon “ Sala “, seperti yang tertulis dalam “ Serat Babad Sengkala “ yang disimpan di “ Sana Budaya Jogjakarta. “ Pemberian nama tersebut didasarkan pada “ Babon Yasan “ ( semacam upacara pertemuan pejabat kerajaan ), di rumah Sinuhun Sultan HB I, pada hari Senin tanggal 30 Rabiul Awal, tahun 1731.

Sala berasal dari bahasa Jawa asli yang merupakan nama pohon sebangsa pinus yang tumbuh di daerah Sala. Sebelum menjadi kota ataupun istana kerajaan. Berdasarkan keterangan diatas, maka kota Sala mempunyai nama lain, antara lain :

1. Solo

2. Nunggak Semi Kartasura

3. Surakarta

4. Nagari

5. Kota Gora Surakarta

Ada juga istilah :

1. Keraton Surakarta

2. Karisidenan Surakarta

3. Kota Praja Surakarta

4. Kota Madya Surakarta

5. Kota Gora Surakarta

6. Surakarta Hadiningrat

Ada juga yang menyebut Kota Sala dengan :

1. Kota Bengawan

2. Kota Budaya

3. Kota Pariwisata

4. Kota Yang Tak Pernah Tidur

5. Kota Berseri

6. Kota Walang Kekek

Bersamaan dengan pendahnya Keraton Surakarta ke desa Sala, lalu Kota Sala diberi nama Surakarta Hadiningrat. Jadi, Surakarta Hadiningrat dijadikan sebagai nama Ibukota Surakarta.

Yogyakarta “Kota Budaya”


Yogyakarta. . . .
Mendengar kata “Yogyakarta“, angan kita pasti segera melayang ke sebuah Daerah Istimewa yang mempunyai berbagai keunikan budaya, kuliner, wisata, dan kota tujuan untuk menimba ilmu. Tak salah jika Yogyakarta dijuluki kota budaya, kota gudeg, atau kota pelajar. Ciri khas yang paling utama dari kota Yogyakarta adalah adanya Keraton Yogyakarta Hadiningrat . Hampir setiap kejadian penting yang diselenggarakan oleh Keraton Yogyakarta dianggap sebagai ritual yang selalu diiringi dengan pertunjukan seni.
1323779736934237124
Keraton tak ubahnya sebagai pusat dari kebudayaan yang ada. Karena di dalam keraton terdapat benda-benda pusaka yang tidak hanya mempunyai nilai seni yang tinggi, tetapi juga mempunyai nilai sejarah terkait perjalanan Keraton ataupun Sultan.  Benda-benda pusaka yang ada di dalam keraton diantaranya berupa senjata dan peralatan perang, bendera, berbagai kitab kuno, perangkat alat musik, wayang, kareta, dan tari-tarian.
13237801731568161088
Di Keraton Yogyakarta sendiri juga memiliki beberapa perangkat alat musik gamelan. Namun hanya 3 saja yang dianggap paling sakral/keramat. Ketiganya adalah :
1. Kyahi Guntur Laut
Sering disebut gamelan Monggang. Merupakan gamelan warisan turun temurun dari kerajaan Majapahit. Gamelan ini dianggap gamelan yang paling sakral. Disimpan di Bangsal kori sebelah timur, kompleks sitihinggil. Kyahi Guntur Laut hanya dimainkan dalam upacara kenegaraan yang sangat penting semisal upacara pelantikan Sultan, pernikahan kerajaan, dan upacara pemakaman Sultan.
13237810201386048636
2. Kyahi Kebo Ganggang
Merupakan seperangkat gamelan kuno, yang konon juga berasal dari kerajaan Majapahit.  Merupakan gamelan ke 2 setelah Kyahi Guntur Laut.  Biasa disebut Kodhok Ngorek atau Mahesa Ganggang. Gamelan ini dipercayai memiliki melodi yang “aneh” seperti pada gendhing kodhok ngorek ayam sepenan. Gamelan yang terletak di Bangsal Kori sebelah barat kompleks sitihinggil ini dimainkan pada acara resmi kenegaraan seperti upacara sunatan, atau upacara ulang tahun Sultan, dan untuk mengiringi prosesi gunungan di masjid agung.
13237816661695649743
3. Gamelan Sekati
Terdiri dari 2 buah gamelan, yakni Kyahi Guntur Madu dan Kyahi Naga Wilaga. Keduanya biasanya dimainkan di dalam masjid agung selama perayaan sekaten pada grebeg Maulid.
Selain perangkat gamelan, keraton Yogyakarta juga memiliki tarian sakral diantaranya beksan bedhaya, dan beksan lawung ageng. Beksan bedhaya dianggap sangat sakral karena konon diciptakan langsung oleh  Sultan Agung (penguasa Mataram). Tarian ini dimainkan oleh 9 penari lelaki yang menyimbolkan 9 lubang pada manusia, dan juga 9 gerbang utama keraton, dan 9 struktur pada tubuh manusia.
Dengan berbagai ragam budaya yang ada, sudah sepantasnya jika Yogyakarta disebut juga Kota Budaya. Meskipun di era globalisasi, ternyata Yogyakarta tetap bisa mempertahankan “ciri khas” nya sebagai kota budaya yang selalu menarik minat wisatawan.

leave a comment